Allah swt telah memberikan keistimewaan pada hari-hari tertentu dan tempat-tempat tertentu. Keistimewaan itu adalah berupa ampunan dosa dan pahala ibadah yang lebih besar dibanding hari-hari atau waktu-waktu biasanya. Misal saja, beribadah di Bulan Ramadhan lebih besar pahalanya dibanding bulan-bulan biasanya. Shalat di Masjidil Haram juga demikian, lebih besar pahalanya dibanding shalat di masjid biasa.
Di antara keistimewaan itu adalah malam pertengahan bulan Sya’ban atau biasa orang menyebutnya malam Nishfu Sya’ban. Malam yang bertepatan dengan tanggal 15 Sya’ban.
Seorang ulama bernama Syekh Abdullah Muhammad al-Ghimari menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan keutamaan-keutamaan malam tersebut. Risalah itu beliau namai dengan judul Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban.
Alasan beliau menulis risalah ini adalah, karena setiap tahun banyak masyarakat yang menanyakan amalan serta doa-doa malam Nisfu Sya’ban kepada beliau. Mulanya beliau hanya menjawab dengan lisan atau menuliskan di beberapa majalah Islam. Begitu menyadari pertanyaan itu akan dialaminya setiap tahun, Syekh Abdullah memutuskan untuk menuliskannya dalam risalah kecil setebal 42 halaman.
Risalah ini beliau tulis dengan ringkas. Meski demikian, menurut beliau, pembahasannya padat, tidak bertele dan memiliki banyak faedah. Risalah ini disarikan dari beberapa kitab-kitab besar terkait. Seperti kitab Al-Idhah karya Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Ma Ja’a fi Syahri Sya’ban karya Al-Hafidz Abu al-Khatib Dihyah al-Andalusi dan Fi Lailatin Nishfi karya Al-Ajhuri (seorang Syekh bermadhab maliki).
Menurut Syekh Abdullah, keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini sudah populer sejak dulu. Saat malam itu tiba, orang-orang akan menghidupkan malam dengan beribadah, memanjatkan doa dan membaca dzikir-dzikir.
Meski begitu, menurut Syekh Abdullah, para ulama berbeda pendapat soal bagaimana prosedur yang tepat untuk menghidupkan malam mulia itu. Apakah bisa dilakukan dengan bersama-sama (berjama’ah) atau harus sendiri-sendiri? Apakah menambahkan ibadah di dalamnya termasuk bid’ah atau tidak? Semuanya memiliki argumen masing-masing.
Melihat realita itu, Syekh Abdullah memilih pendapat yang tidak memberatkan. Mungkin, hemat penulis, Syekh Abdullah tidak ingin memberatkan masyarakat yang sudah mendarah daging melakukan amalan-amalan malam Nisfu Sya’ban. Sehingga beliau memilih pendapat yang tidak mengusik masyarakat. Beliau memilih untuk tidak membid’ahkan. Meskipun dalil-dalil tentang amalam malam Nisfu Sya’ban itu berupa hadis dha’if, atau bahkan mungqathi’, itu sudah dianggap cukup karena amalan malam Nisfu Sya’ban merupakan dari fadha’ilul a’mal (bentuk amal ibadah yang dianjurkan sebagai pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah swt).
Belum lagi dasar amalan malam Nisfu Sya’ban terdapat dalam hadis yang tercatat dalam Sahih Muslim. Tentu, menurut Syekh Abdullah, ini lebih menguatkan kebasahan amalan malam Nisfu Sya’ban itu. Hadis itu diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra berikut,
Dari Jabir ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya pada malam hari itu ada satu waktu yang tidaklah seorang muslim tepat pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah pasti memberikannnya kepadanya. Dan waktu itu ada pada setiap malam.” (HR Muslim)
Melihat keumuman hadis ini, malam Nisfu Sya’ban masuk dalam kategori malam yang memiliki keistimewaan sebagaimana dimaksudkan dalam hadis. Sehingga wajar jika pada malam itu dianjurkan memperbanyak ibadah agar bisa meraih sesuatu yang dijanjikan: memperoleh doa yang pasti dikabulkan.
Sejarah Praktik Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Mengawali pembahasannya, Syekh Abdullah menjelaskan tentang sejarah peringatan malam Nisfu Sya’ban dan menjelaskan pula mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat ulama: ada yang membenarkan dan mempraktikannya, ada pula yang membid’ahkannya
Pertama kali yang memperingati malam Nishfu Sya’ban adalah dari kalangan Tabi’in penduduk negeri Syam, seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lain-lain. Mereka mengagungkan malam itu dan memperbanyak ibadah di dalamnya. Hingga kemudian tersiar kabar bahwa yang mereka lakukan itu bersumber dari atsar isra’iliyat (perkataan sahabat yang sebenarnya adalah buatan orang Yahudi -pen).
Setelah itu, ada dua kubu yang menyikapi peringatan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian mengikuti apa yang dilakukan para tabi’in negeri Syam. Mereka adalah orang-orang Bashrah dan yang lainnya. Sementara ulama penduduk Hijaz menentangnya dan menganggap sebagai praktik bid’ah. Di antara penduduk Hijaz itu adalah Imam ‘Atha, Ibu Abi Malikah dan para fuqaha dari kota Madinah.
Bentuk Praktik Ibadah Malam Nisfu Sya’ban
Para ulama negeri Syam berbeda pendapat soal bagaimana cara menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian dari mereka ada yang memperingatinya dengan beribadah secara berjama’ah di masjid dengan mengenakan pakaian terbaik, membakar kemenyan (untuk pengharum -pen), mengenakan sibak dan menghidupkan malam dengan beribadah di masjid tersebut. Pedapat ini didukung oleh Ishaq bin Rahaweh dan diunggulkan oleh Imam Al-Walid ra.
Sementara sebagian ulama Syam yang lain menghukumi makruh jika dilakukan berjamaah di masjid dalam bentuk membaca kisah-kisah dan berdoa. Tapi jika shalat sendiri di masjid untuk laki-laki, maka boleh. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Al-Auza’i, seorang imam bagi penduduk Syam saat itu.
Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban dan Dalilnya
Selanjutnya, Syekh Abdullah melanjutkan pembahasan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dengan menyebutkan dalil-dalil yang menjadi dasar keutamaan malam Nisfu Sya’ban tersebut, baik dalam bentuk hadis maupun atsar sahabat. Ada 10 hadis yang beliau paparkan, di antaranya adalah hadis di bawah ini:
“Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepadaKu maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada–Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada–Ku maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.”
Sementara atsar yang dikutip Syekh Abdullah adalah riwayat Nauf al-Bikali, dia berkata, “Sungguh Ali pada malam Nishfu Sya’ban beliau keluar (dari rumah) dan mengulanginya berkali-kali seraya melihat ke langit. Beliau berkata:
“Sungguh saat ini tidaklah seseorang berdoa kepada Allah melainkan akan Ia kabulkan, tidaklah seseorang memohon ampunan kepada–Nya pada malam ini melainkan Ia akan mengampuninya, selama ia bukan seorang ‘asysyar (penarik pungutan liar), tukang sihir, tukang syair, tukang ramal, pengurus pemerintahan suatu daerah, tentara pilihan penguasa, penarik zakat, pemukul genderang dan tambur.”
Muhammad Abror, Mahasantri Saidusshiddiqiyah Jakarta, alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon Identitas Kitab Judu: Husnul Bayan fi Lailah an-Nishfi min Sya'ban Penerbit: Dar 'Alam al-Kutub Cetakan: kedua, tahun 1985 Tebal: 42 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar